A. Distribusi
Pendapatan Nasional & Kemiskinan
Masalah besar yang dihadapi negara sedang berkembang
adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan.
Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan
yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Membiarkan kedua masalah
tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang
dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik.
Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak
hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang, namun negara maju sekalipun tidak
terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar
kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat
kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk
suatu negara. Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat
kesulitan mengatasinya.
Negara maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan
dan angka kemiskinan yang relative kecil dibanding negara sedang berkembang,
dan untuk mengatasinya tidak terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka
relative tinggi. Walaupun demikian, masalah ini bukan hanya menjadi masalah
internal suatu negara, namun telah menjadi permasalahan bagi dunia
internasional.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian ,
tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang
memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya
dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Adapun secara umum penyebab kemiskinan diantaranya:
1. Kemalasan.
2. Kebodohan dan pemborosan.
3. Bencana alam.
4. Kejahatan, misalnya
dirampok
5. Genetik dan dikehendaki Tuhan, baik genetika
orang tua, tempat lahir, kondisi orang tua yang miskin.
Definisi kemiskinan menurut beberapa
ahli
- Menurut Sallatang (1986) kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan dan pemilikan kekayaan materi, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran fisiologi, psikologi dan sosial.
- Menurut Esmara (1986) mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
- Menurut Basri (1995) bahwa kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan serba kekurangan dalam pemenuhan sejumlah kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan lain sebagainya.
- Menurut Badan Pusat Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai pola konsumsi yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan.
- Poli (1993) menggambarkan kemiskinan sebagai keadaan ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar, rendahnya kualitas perumahan dan aset-aset produktif, ketidakmampuan memelihara kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya perilaku antisosial (anti-social behavior), kurangnya dukungan jaringan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, kurangnya infrastruktur dan keterpencilan, serta ketidakmampuan dan keterpisahan.
- Bappenas dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan juga mendefinisikan masalah kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin
- SPECKER (1993) mengatakan bahwa kemiskinan mencakup beberapa hal yaitu :
1. kekurangan fasilitas fisik bagi kehidupan yang normal
2. gangguan dan tingginya risiko kesehatan,
3. risiko keamanan dan kerawanan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungannya,
4. kekurangan pendapatan yang mengakibatkan tidak bisa hidup layak, dan
5. kekurangan dalam kehidupan sosial yang dapat ditunjukkan oleh ketersisihan sosial,
B. Kemiskinan di Indonesia
Kemiskinan
adalah permasalahan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan tidak
bisa lagi hanya dipahami sebagai sekedar kondisi ketidakmampuan seseorang
untuk mencukupi kebutuhan material dasar, melainkan di dalamnya mencakup
dimensi rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, tidak adanya jaminan masa
depan, kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan, ketidakmampuan menyalurkan
aspirasi, dan ketersisihan dalam peranan sosial. Maka adalah suatu
kesalahan jika saat ini orang-orang yang disebut sebagai orang miskin derajat
kemanusiaannya hanya dipersamakan dengan beberapa kilo kalori.
Di Indonesia, pernah digunakan dua ukuran, yaitu ukuran menurut BPS yang menggunakan pendekatan basic needs dengan indikator Head Count Index (HDI) dan bersifat makro serta ukuran menurut BKKBN yang lebih bersifat mikro. Pengukuran kemiskinan juga dapat dipandang dari sudut non moneter. Dari sudut ini, kemiskinan dilukur dari akses penduduk akan kesehatan, pendidikan, kemampuan mengemukakan aspirasi dan lain-lain adalah ukuran kemiskinan dari sudut pandang non moneter.
Kondisi kemiskinan di Indonesia dilihat dari sisi pendidikan; ketenagakerjaan; fertilitas, mortalitas dan harapan hidup; kesehatan dan fasilitas perumahan. Permasalahan kemiskinan dilihat dari tiga aspek yaitu kegagalan pemenuhan hak dasar, beban kependudukan serta ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender.
Kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambil pada tiap era pemerintahan berbeda-beda, demikian pula implikasi yang diperoleh. Pemerintahan era orde baru mampu menekan laju pertambahan jumlah orang miskin hingga yang terendah sebesar 25,9 juta penduduk atau 13,7 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 1993. Dan sempat mengalami kenaikan hingga akhir pemerintahannya, mencapai angka tertinggi 49, 5 juta orang (1998) dan menjadi yang tertinggi sampai saat ini., Selanjutnya pada era pemerintahan pasca orde baru, jumlah orang miskin terus mengalami penurunan.
Di Indonesia, pernah digunakan dua ukuran, yaitu ukuran menurut BPS yang menggunakan pendekatan basic needs dengan indikator Head Count Index (HDI) dan bersifat makro serta ukuran menurut BKKBN yang lebih bersifat mikro. Pengukuran kemiskinan juga dapat dipandang dari sudut non moneter. Dari sudut ini, kemiskinan dilukur dari akses penduduk akan kesehatan, pendidikan, kemampuan mengemukakan aspirasi dan lain-lain adalah ukuran kemiskinan dari sudut pandang non moneter.
Kondisi kemiskinan di Indonesia dilihat dari sisi pendidikan; ketenagakerjaan; fertilitas, mortalitas dan harapan hidup; kesehatan dan fasilitas perumahan. Permasalahan kemiskinan dilihat dari tiga aspek yaitu kegagalan pemenuhan hak dasar, beban kependudukan serta ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender.
Kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambil pada tiap era pemerintahan berbeda-beda, demikian pula implikasi yang diperoleh. Pemerintahan era orde baru mampu menekan laju pertambahan jumlah orang miskin hingga yang terendah sebesar 25,9 juta penduduk atau 13,7 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 1993. Dan sempat mengalami kenaikan hingga akhir pemerintahannya, mencapai angka tertinggi 49, 5 juta orang (1998) dan menjadi yang tertinggi sampai saat ini., Selanjutnya pada era pemerintahan pasca orde baru, jumlah orang miskin terus mengalami penurunan.
C.
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia
Pertumbuhan ekonomi mempunyai arti penting.
Petumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau
suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunanekonomi dan peningkatan
kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan sendirinya
kebutuhan konsumsinsehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan
penambahan pendapatan setiap tahun.
Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari penambhana pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya bisa dicapai dengan penigkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB yang terus-menerus. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDB, yang berarti peningkatan PN.
Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari penambhana pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya bisa dicapai dengan penigkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB yang terus-menerus. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDB, yang berarti peningkatan PN.
Sumber: